Selasa, 18 Juni 2013

Serba-serbi : Rokok Tingwe

Rokok tingwe (ngelinting dhewe-Red) pernah ngetren di tahun 2003. Bukan hanya di Temanggung yang dikenal sebagai gudangnya tanaman tembakau, tetapi juga di daerah tetangga, baik di Kota dan Kabupaten Magelang maupun Wonosobo. Awalnya, tingwe memanfaatkan daun tembakau yang tidak laku dijual dan untuk konsumsi sendiri. Namun, belakangan berkembang ekonomis di tengah harga rokok resmi yang cukup mahal. Apalagi sekarang tersedia di pasaran tembakau rasa Djarum, Dji Sam Soe, Gudang Garam dan lainnya, termasuk alat untuk ngelinting rokok. Berikut laporan Narto Budhi (Temanggung), Sudarman (Wonosobo), dan Doddy Ardjono (Magelang).
INGIN rokok tingwe, datang saja ke Temanggung. Barang itu mudah didapat karena hampir sebagian besar masyarakat, khususnya di daerah sentra tembakau seperti Kecamatan Parakan, Kledung, Bansari, Ngadirejo, Bulu, dan Temanggung, bisa membuatnya.
Bulan lalu, rokok tingwe banyak dijajakan di sejumlah kios eceran. Bentuknya bermacam-macam, ada yang filter ada pula yang tanpa filter. Mereknya juga banyak antara lain Harum 75, Speksial, Lamsie, dan lain-lain. Namun, kemasannya memang sederhana, hanya dibungkus plastik. Isinya 12, 20, dan 50 batang per bungkus.
Soal harga, jangan tanya. Pasti jauh lebih murah dibanding dengan rokok produksi pabrik karena tidak terkena cukai. Tingwe filter berisi 12 batang rata-rata dijual Rp 1.500 per bungkus, tetapi untuk kemasan 20 batang harganya lebih mahal yakni mencapai Rp 2.000. Adapun yang berisi 50 batang harganya Rp 5.000 per bungkus.
Tingwe tanpa filter kebanyakan dikemas 12 batang per bungkus. Harganya hanya Rp 2.000 per bungkus. Jika ingin membeli dalam jumlah banyak tanpa kemasan, harganya hanya Rp 100 per batang. Itu bisa dibeli langsung kepada para pelinting yang jumlahnya tak bisa dihitung lagi.
Mirip Rokok Pabrik
Beberapa bulan lalu peredaran rokok tingwe di Temanggung memang luar biasa. Selain dijajakan di sejumlah kios eceran, juga ada penjual yang menawarkan secara door to door di lingkungan perumahan.
"Sepertinya tak ada perokok di Temanggung yang belum merasakan. Mereka suka, selain harganya murah juga rasanya enak. Itu sebabnya para pelinting memiliki semangat tinggi untuk memproduksi meski hanya sebagai pekerjaan sambilan," kata sejumlah pelinting di Parakan yang enggan disebut namanya.
Cara membuatnya tidak sulit. Tinggal membeli kertas rokok berikut filternya yang banyak dijual di kios-kios eceran, mencampur tembakau dengan cengkih, lalu dicetak menggunakan alat pelinting tradisional.
"Biayanya sangat murah dibanding dengan rokok pabrik. Tembakau 1 ons dicampur cengkih 0,5 ons dan satu pak kertas sigaret dengan biaya total sekitar Rp 6.500, bisa dibuat 100 batang," timpal pelinting yang lain.
Penampilannya mirip produksi pabrik sehingga tidak memalukan bila dihisap di muka umum. Karena itu, tingwe sekarang menjadi pilihan sebagian masyarakat perokok, akibat dari makin mahalnya harga rokok pabrikan.
Wabah tingwe juga melanda perokok di Kota dan Kabupaten Magelang. Seorang pecandu rokok Darwanto, warga Magelang, menyatakan alasan utama mereka membuat tingwe adalah murah. Satu ons tembakau racikan siap saji harganya hanya Rp 3.500. Dengan uang Rp 3.500 itu dia bisa membuat 200 batang rokok. Mengenai rasanya, tidak masalah karena ada rasa Gudang Garam yang racikannya dijual dengan merek Gege. Kemudian merek Jarum 67 untuk rokok rasa Djarum dan rasa mild. Soal filternya, juga tidak masalah. Harga 1 plastik filter sudah potongan hanya Rp 1.000 berisi 100 buah. Bisa memilih ukuran filter normal maupun filter mild.
Tersedia Saus
Bukan hanya itu, untuk kertas (sigaret), juga tersedia bermacam-macam merek. Bahan sausnya juga tersedia dengan merek Gege, Djarum, Dji Sam Soe, dan sebagainya dengan harga Rp 1.500/botol.
Membeli alat lintingnya juga gampang. Setiap Pahing di pasar hewan pasti ada yang menjualnya. Alat linting yang kecil harganya Rp 5.000 dan yang besar Rp 10.000. Cara kerja alat ini bisa dengan didorong atau ditarik.
Saat Pahing, banyak juga beredar roko tingwe yang menggunakan merek seperti rokok tingwe kretek merek 289, Harum 69, dan lainnya. Isi 12 batang hanya dijual Rp 2.500. "Saya dan teman-teman memilih ngeliting sendiri. Yang tidak punya alatnya bisa gabung dengan teman yang punya alat. Jauh lebih ngirit dibanding dengan beli rokok pabrik," tuturnya.
Hal serupa juga disampikan Supar, warga Mertoyudan. "Tingwe itu rokok murah meriah. Kami bisa membuat rokok yang rasanya mirip Dji Sam Soe, rasa Gudang Garam, rasa Djarum, dan lainnya. Tinggal beli racikan tembakau dicampur sausnya, sudah bisa dinikmati."
Di Wonosobo juga ada rokok tingwe, namun di sana ada yang lebih khas yakni tingwe memakai tembakau garangan. Sobar dan Makmun Murod, warga Desa Tieng, Kecamatan Kejajar mengatakan, tembakau garangan memiliki aroma dan rasa yang khas.
Tembakau jenis ini dibuat lintingan untuk dihisap sendiri. Campurannya bergantung pada selera si perokok. Bisa dicampur dengan cengkih, klembak, maupun menyan.
Razia Cukai
Pada tiga pekan belakangan, rokok tingwe seperti menghilang dari pasaran, terutama sejak aparat Bea Cukai dan polisi melakukan razia di sejumlah kios eceran.
Pada razia itu, polisi mengamankan sekitar 600 bungkus rokok, 1000 kertas bungkus, dan 5 unit alat pelinting tradisional. Seorang pelinting bernama H Mulyono warga Nampirejo, Kecamatan Tlogomulyo, dimintai keterangan.
Hal itu membuat nyali sebagian besar pelinting maupun penjual tingwe ciut karena khawatir berurusan dengan petugas. Sejak itu, tingwe benar-benar menghilang dari pasaran. Kalaupun masih ada, sebatas dipakai untuk kebutuhan sendiri.
Menanggapi razia, para pelinting menyatakan kecewa. Sebab, hal itu dilakukan mendadak tanpa melalui sosialisasi maupun peringatan.
Sumber : Suara Merdeka, September 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar